Abstrak
Xerostomia merupakan kondisi penurunan atau kehilangan aliran saliva yang dapat terjadi akibat pengobatan medis, salah satunya adalah radioterapi pada daerah kepala dan leher. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara radioterapi pada daerah kepala dan leher dengan terjadinya xerostomia pada pasien kanker yang menjalani terapi di RSUP ABC Kota DEF. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai faktor risiko xerostomia pada pasien kanker yang menjalani radioterapi, sehingga dapat diperoleh pendekatan pencegahan dan penanganan yang lebih baik.
Pendahuluan
Radioterapi adalah salah satu terapi utama dalam pengobatan kanker kepala dan leher, yang sering digunakan untuk mengobati berbagai jenis kanker seperti kanker laring, faring, dan rongga mulut. Meskipun efektif dalam mengendalikan pertumbuhan tumor, radioterapi dapat menyebabkan efek samping yang signifikan pada jaringan sehat di sekitar area yang diterapi, salah satunya adalah xerostomia. Xerostomia adalah penurunan atau hilangnya sekresi saliva yang dapat menyebabkan masalah oral seperti kesulitan berbicara, menelan, dan meningkatkan risiko karies serta infeksi mulut.
Kondisi xerostomia sering kali disebabkan oleh kerusakan kelenjar saliva akibat radiasi. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya xerostomia pada pasien kanker yang menjalani radioterapi adalah penting untuk mengoptimalkan terapi dan kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara radioterapi daerah kepala dan leher dengan terjadinya xerostomia pada pasien kanker yang menjalani terapi di RSUP ABC Kota DEF.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional potong lintang dengan pendekatan analitik. Sampel penelitian terdiri dari 50 pasien yang menjalani radioterapi untuk kanker kepala dan leher di RSUP ABC Kota DEF. Kriteria inklusi meliputi pasien yang telah menjalani radioterapi selama minimal 3 bulan dan telah didiagnosis dengan kanker kepala dan leher. Pasien yang mengalami kondisi medis lain yang memengaruhi produksi saliva, seperti diabetes mellitus atau gangguan tiroid, dikecualikan dari penelitian ini.
Pengukuran xerostomia dilakukan menggunakan kuisioner standar Xerostomia Inventory (XI), yang terdiri dari 11 pertanyaan mengenai gejala xerostomia yang dirasakan pasien. Data mengenai dosis radioterapi, lokasi terapi, serta waktu sejak radioterapi selesai dikumpulkan melalui rekam medis pasien. Hubungan antara radioterapi dan xerostomia dianalisis menggunakan uji chi-square untuk variabel kategorikal dan uji korelasi Pearson untuk variabel numerik.
Hasil
Dari 50 pasien yang diteliti, 80% melaporkan mengalami gejala xerostomia tingkat ringan hingga berat. Pasien yang menerima dosis radioterapi lebih dari 50 Gy memiliki prevalensi xerostomia yang lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan pasien yang menerima dosis lebih rendah. Pasien yang menerima radioterapi pada area parotid (kelenjar saliva utama) lebih cenderung mengalami xerostomia parah (p<0,01) dibandingkan dengan pasien yang menerima terapi pada area selain parotid. Waktu sejak penyelesaian radioterapi juga ditemukan berhubungan signifikan dengan gejala xerostomia, di mana pasien yang lebih lama menjalani terapi (lebih dari 12 bulan) melaporkan gejala xerostomia yang lebih berat.
Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara dosis radioterapi, lokasi terapi, dan waktu pasca-radioterapi dengan terjadinya xerostomia pada pasien kanker kepala dan leher. Pemberian dosis radioterapi yang tinggi (>50 Gy) berisiko besar merusak kelenjar saliva, terutama kelenjar parotid yang berfungsi sebagai kelenjar utama penghasil saliva. Penurunan produksi saliva ini dapat mengarah pada gejala xerostomia yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien secara signifikan.
Selain itu, temuan bahwa waktu pasca-radioterapi berhubungan dengan meningkatnya gejala xerostomia menunjukkan bahwa perubahan ini bersifat progresif. Oleh karena itu, pemantauan jangka panjang terhadap produksi saliva pada pasien yang menjalani radioterapi sangat diperlukan untuk memberikan intervensi yang tepat waktu.
Kesimpulan
Radioterapi pada daerah kepala dan leher, khususnya pada dosis tinggi dan dengan terapi yang melibatkan kelenjar parotid, berhubungan signifikan dengan terjadinya xerostomia pada pasien kanker. Pemantauan dan penanganan xerostomia yang tepat pada pasien ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Penelitian lebih lanjut mengenai metode pengurangan efek samping radioterapi terhadap kelenjar saliva, seperti terapi pengganti saliva dan penggunaan obat-obatan yang dapat merangsang sekresi saliva, diperlukan untuk mengurangi dampak xerostomia.